Puisi untuk seorang Pelaut
Jangan sebut aku pelaut jika orang2 di darat tidak mencibir pekerjaanku.
Jangan sebut aku pelaut jika orang yang merasa suci tidak mengucilkan aku karena aku dianggap pendosa.
Ya seorang pendosa yang mencari nafkah buat anak istrinya.
Seorang pendosa yang terkadang menitipkan sedikit uang untuk rumah ibadah.
Seorang pendosa yang terkadang membantu kelanjutan hidup orang-orang yang kurang beruntung.
Jangan panggil aku pelaut,
Jika orang tidak menjuluki aku si mata keranjang. Punya istri dimana-mana, begitu kata mereka.
Aku memang jauh dari istri, tetapi bukan berarti untuk mencari wanita lain.
Aku pergi mencari kehidupan untuk keluargaku.
Aku meninggalkan kenyamanan pelukan anak istriku.
Demi sebuah impian untuk masa depan yang cerah.
Bukan untuk seorang wanita nakal.
Bukan untuk menyalurkan libido semata.
Kami memang normal, memiliki hasrat.
Tetapi kami bukan sejenis binatang yang berhubungan sembarangan kepada yang bukan istrinya.
Kami juga manusia yang punya Tuhan.
Kami juga manusia yang punya hati.
Kami juga manusia yang punya cinta.
Cinta kami pada keluarga terlalu besar sehingga mengalahkan keinginan seksual.
Karena manusia hidup bukan hanya untuk bercinta saja.
Manusia berpikir bukan hanya memikirkan wanita saja.
Manusia yang punya masa depan akan memikirkan masa depannya.
Jangan panggil aku pelaut,
Jika istriku tidak sering sakit hati mendengar ocehan orang lain tentang aku.
Mereka mengatakan bahwa hubungan kami tidak harmonis.
Mereka tidak tahu bahwa jarak tidak dapat memadamkan cinta.
Cinta akan tetap tumbuh di hati kami meskipun terpisah jauh dari istri.
Oh, jangan panggil aku pelaut, jika ternyata lebih banyak orang di darat yang berpoligami dan berselingkuh dimana-mana.
Sementara kami, kami mabuk karena ombak, wajah kami kusam tak berdaya.
Kami kesepian hanya melihat dinding-dinding kapal, berharap di sana ada bayangan wajah istri dan anak.
Kami hanya melihat gelombang laut yang seram.
Malam pekat dihiasi angin kencang.
Kami berharap kami akan hidup.
Di tengah laut, ketika kalian sedang memperbincangkan tentang kami, mungkin saat itu kami sedang berjuang untuk tetap hidup.
Mempertahankan nyawa yang hampir direnggut maut.
Ya bertahan hidup dengan segala cara.
Bukan demi tubuh kami sendiri,
Tapi demi anak2 dan istri di rumah yang selalu menunggu kehadiran kami.
Oh, jangan panggil aku pelaut.
Panggillah pelaut kepada mereka yang berselingkuh dengan sekretarisnya di kantor,
Pada mereka yang tiap malam ngaku lembur padahal nongkrong di cafe2 bersama wanita bayaran.
Panggillah kepada mereka pelaut jika nama itu hanya engkau pakai untuk memfitnahku.
Jangan panggil aku pelaut,
Jika aku tak membuktikan bahwa anak istriku lebih bahagia darimu.
Karena sesungguhnya cinta yang kami miliki jauh lebih romantis dari apa yang kalian bayangkan.
Jangan panggil aku pelaut.
Tapi panggillah aku pejuang sejati.
Pejuang yang rela mati demi menafkahi keluarganya.
Pejuang yang rela kesepian demi sesuap nasi.
Pejuang tangguh yang bertarung kepada ombak siang dan malam.
Panggil aku Pejuang.
Sebab aku di laut untuk berjuang bukan untuk bersenang-senang.
Pejuang yang berusaha menahan rindu dan menelan kepahitan karena ingin berkumpul keluarga.
Pejuang yang memberikan hasil kerjanya untuk anak istri seutuhnya walau diri sendiri jarang menikmatinya.
Pejuang yang ikhlaskan semua perkataan orang yang hanya mengetahui setengah2.
Panggil aku pejuang.
Pejuang yang tidak kalah dengan nafsu semata.
Pejuang yang tidak menyerah karena digoda.